Ru’yat untuk Melihat Bulan ?

San Francisco - 02/04/2003

San Francisco - 02/04/2003

Memperhatikan ungkapan Dr. Sofyan Sururi Siregar sebagaimana dimuat di detiknews.com.

Sofyan menganggap Depag tidak perlu melakukan ru’yat tanggal 29 September 2008 (dianggap sebagai pembodohan umat), dan Menteri Agama yang menyalahkan umat berlebaran sebelum 1 Oktober 2008 itu sebagai pelecehan kepada umat Islam. Ilustrasinya menggunakan pelaksanaan lebaran di KBRI yang berada di Eropa yang lebih dulu dari Indonesia. Kecuali KBRI Den Hag yang melaksanakan lebaran pada hari Rabu (1 Oktober 2008).

Sekiranya lebih dicermati, Dr. Sofyan Sururi Siregar tentunya memahami statemen Menteri itu untuk wilayah tanggung jawab sang Menteri, yaitu Indonesia. Bukan untuk Eropa. KBRI di Eropa tentunya mengikuti kalender Eropa (yang secara vertikal bisa mengikuti negara di ekuator dan sudah masuk bulan baru), bukan kalender Indonesia. Mungkin justru lebih tepat kalau KBRI Den Hag mengikuti hari raya pada tanggal 30 September 2008, bukannya mengikuti Indonesia tgl 1 Oktober 2008. Bagi kelompok umat Islam Indonesia yang memilih lebaran duluan ternyata tidak berdasarkan ru’yat atau hisab di Indonesia, tetapi lebih kepada keputusan negara lain (HTI karena mengikuti Saudi negara arab) atau tradisi tarekat yang sumbernya sulit diuji secara ilmiah.

Memperhatikan keberatan Sofyan atas ru’yat tanggal 29 September 2008, bahwa pada hari itu merupakan hari ke 29 Ramadlan. Dalam perspektif ru’yat, tgl 29 September 2008 merupakan hari kritis sehingga perlu mengambil keputusan apakah esoknya masih puasa atau masuk hari raya (ganti bulan).

Sekirnya hasil hisab sudah memperkirakan bahwa tanggal tsb belum muncul bulan baru, tidak menghalangi kebutuhan untuk melakukan ru’yat. Justru kalau hari ke 29 Ramadlan tidak melakukan ru’yat Menteri Agama tidak melaksanakan tugasnya.

Memang secara hisab sudah diperkirakan bahwa pada hari itu bulan tidak dapat dilihat, tentunya itu dalam metodologi penentuan bulan baru dengan cara hisab. Bukan cara ru’yat. So, sekirannya Sofyan memaksakan Menteri Agama tidak perlu melakukan ru’yat pada tanggal itu sama saja memaksakan cara hisab saja untuk menentukan pergantian bulan. Cara itu bukan satu-satunya cara yang dianut Pemerintah Indonesia. Atau sekiranya Sofyan menghendaki tgl 30 September 2008 (hari ke 30 ramadlan) baru diru’yat maka tgl 30 September 2008 umat Islam Indonesia masih puasa juga. Jadi kalau mempermasalahkan obyek yg diru’yat, memang benar apa yang disampaikan Sofyan. Depag itu mau meru’yat apa. Atau secara implisit ru’yat itu ya harus melihat bulan.

Tapi yg perlu dipahami, bahwa pada hari ke 29 Ramadlan itu Depag memastikan apakah hari berikutnya itu hari ke 30 ramadlan atau hari pertama bulan syawal dengan cara ru’yat. Hasil kepastiannya ditetapkan untuk hajat ibadah umat Islam di Indonesia. Jadi ru’yat tanggal itu memang untuk melaksanakan tugas yang harus diselesaikan Menteri untuk memenuhi kepentingan umat Islam Indonesia akan kepastian waktu pelaksanaan ibadah. Dan karenanya itu tanggal 30 September 2008 tidak perlu lagi melakukan ru’yat. Sekiranya ru’yat tidak memiliki manfaat hukum dan semata-mata untuk melihat ‘bulan baru’ tentunya tanggal 30 perlu diadakan ru’yat. Namanya juga ingin melihat bulan baru.

Lantas mengapa Sofyan menilai Menteri Agama membodohi umat, hanya karena ru’yat yang dilaksanakan tidak berhasil melihat bulan ?

Lantas mengapa Menteri Agama dianggap melecehkan umat karena Menteri Agama menganggap salah kepada umat Islam Indonesia yang lebaran lebih dulu ? Bukankah antara hisab dan ru’yat kali ini menghasilkan waktu yang sama ? Harusnya Sofyan cukup mengingatkan Menteri Agama, bahwa hal itu jangan diulangi pada masa yang akan datang karena kondisi seperti ini (hasil hisab dan ru’yat sama, sehingga judgment Menteri itu ada benarnya) tidak berlangsung selamanya. Disamping itu penentuan awal bulan hijriah merupakan masalah ijtihadi atau dengan isitilah beliau (Sofyan) yaitu masalah ikhtilaful matoli’. Tapi ingat, bahwa masalah ijtihad itu pada dasarnya tidak mengikat umat, kecuali sudah ditetapkan oleh ulilamri untuk mengikuti suatu pendapat ijtihadi.

Link terkait :

2 thoughts on “Ru’yat untuk Melihat Bulan ?

  1. zain rahman

    Perlu diketahui bahwa HTI dalam merujuk Rukyatul hilal bukan melihat pada keputusan Saudi Arabia, tapi lebih merujuk pada rukyatul hilal global.
    Dan permasalahan perbedaan ini akan mudah diselesaikan bila ummat ini mempunyai ulil amri yang tiada lain itu khalifah di bawah daulah khilafah islamiyyah

    Reply
  2. PAI Solo Post author

    Terima kasih Mas Zain. Tadinya saya memang mengira bahwa HTI melalui juru bicaranya mengatakan bawha Idul Fitri hari itu dikarenakan adanya hilal di negara arab sama dengan mengikuti keputusan negara arab terutama negara Arab Saudi. Tapi intinya kan memang tidak mengikuti ru’yatul hilal lokal ya…
    Terima kasih.

    Reply

Leave a comment