Lemahnya DPR dalam Konflik Politik

Benarkah kepemimpinan DPR terkesan takut menghadapi konflik dan lemah dalam memperjuangkan kepentingan rakyat ? Sudah muncul indikator kecurangan, tidak sekaligus menjaminkan jadwal konfirmasi pihak yang terungkap, namun justru merubah sidang tebuka menjadi tertutup, takut ?

JRENG! Ini Chat Ketua KPU Berisi Dugaan Kecurangan Pemilu 2024

TV One | berita tanggal 07 Maret 2024 menayangkan kembali clip Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mengungkapkan adanya dugaan kecurangan KPU dalam pemilu 2024 dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi 2 DPR.
sebagaimana link berita :  viva.co.id dengan link tayangannya di youtube.

Sidang Komisi 2 tanggal 11 Januari 2023

Sidang Komisi 2 DPR yg dimaksud ialah sidang Komisi II DPR RI RDPU dengan Koalisi Masyarakat sipil kawal Pemilu Bersih, dengan agenda Penyampaian Aspirasi Mengenai Indikasi Kecurangan Dalam Tahapan Penyelenggaraan Pemilu, Rabu 11 Januari 2023 di Gedung Nusantara II Senayan. Dalam RDPU ini terungkap adanya dugaan kecurangan KPU dalam meloloskan partai yang seharusnya TMS menjadi MS pada tahap verifikasi faktual peserta Pemilu 2024.
Untuk melihat kembali rekaman sidang melalui kanal Komisi 2 DPR RI link : RDPU Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih

Paparan Hadar Nafis Gumay meski belum selesai, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia meminta sidang dilanjutkan tertutup dengan alasan menyangkut pihak tertentu yang masih perlu dikonfirmasi. Mengapa tidak dilanjutkan saja dengan menyusun agenda lanjutan untuk meminta konfirmasi pihak2 terkait sehingga DPR memenuhi harapan sebagai wakil rakyat.

Pemberitaan tentang dugaan kecurangan ini sudah pernah diberitakan waktu itu, yaitu antara lain tanggal 11 Januari 2023 oleh akurat.co (lihat berita selengkapnya).

 

Apa saja jenis kecurangan pemilu dan bagaimana menghentikannya?

bbc indonesia 9 Februari 2024

Lebih dari empat miliar orang akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu tahun ini di lebih dari 60 negara di seluruh dunia.

Dengan makin meningkatnya kekhawatiran akan kemunduran demokrasi, sejumlah pakar menjelaskan berbagai jenis kecurangan pemilu.

Apa yang dimaksud dengan integritas pemilu?
Integritas pemilu adalah ketika seluruh proses pemilu mencerminkan keinginan para pemilih dan cara mereka memilih, kata Riccardo Chelleri, pejabat pemilu Uni Eropa.

Dia mengatakan masyarakat harus bisa mempercayai proses tersebut sehingga mereka mau menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara.

“Pemilu harus dilakukan secara transparan untuk memastikan setiap orang mendapatkan informasi yang mereka perlukan,” kata Chelleri, yang bekerja di divisi Demokrasi dan Pengamatan Pemilu di dinas luar negeri Uni Eropa (EEAS).

“Pemilu semestinya inklusif. Itu bukan hanya tentang bagaimana pemilik suara bisa diperbolehkan menggunakan suaranya. Itu juga [tentang bagaimana] partai-partai politik diperbolehkan untuk berpartisipasi, untuk berkampanye tanpa kekerasan.”

Dr Nic Cheeseman, profesor dalam bidang demokrasi di Universitas Birmingham di Inggris, mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan olehnya menunjukkan kualitas pemilu – yakni ketika kandidat dan pemilik suara dapat berpartisipasi secara bebas dan suara dihitung dengan akurat – mengalami penurunan di seluruh dunia.

Risiko dari kualitas pemilu yang rendah akan jadi norma baru, tambahnya.

“Tak ada pemilu yang sempurna, tapi pemilu yang berkualitas tinggi memberi kuasa pada pemilih untuk memilih pemerintahan mereka dan meminta pertanggungjawaban pemimpin mereka,” jelas Cheeseman.

Apa yang dimaksud manipulasi pemilu?
Proses pemilu dimulai sehari setelah pemilu, menjelang pemilu berikutnya.

Para ahli mengatakan manipulasi pemilih bisa terjadi kapan saja dalam rentang waktu ini.

“Hanya amatir yang mencurangi pemilu pada hari pemilu. Para profesional memanipulasi pemilu setahun sebelumnya,” kata Dr Cheeseman.

Teknik yang digunakan untuk memanipulasi pemilu mencakup penggunaan pihak berwenang oleh pemerintah yang berkuasa untuk mengintimidasi oposisi, menyensor media agar oposisi tak bisa mengamplifikasi pesannya, dan menyiasati proses pendaftaran pemilu untuk menguntungkan partai berkuasa.

“Yang biasanya terjadi adalah petahana menunjuk hakim yang tidak independen, sehingga tidak ada banding terhadap hasil akhir yang diterima,” kata Chelleri.

Teknik lain untuk memanipulasi pemilu adalah gerrymandering, ketika pemilihan daerah direkayasa untuk menguntungkan kelompok tertentu.

Partai berkuasa atau pemerintah juga dapat menggunakan uang rakyat untuk meningkatkan kampanye petahana, menyebarkan disinformasi untuk mendiskreditkan proses pemilu, atau membeli suara.

“Di AS, ada kekhawatiran besar mengenai persekongkolan, penindasan terhadap pemilih, dan disinformasi,” kata Dr Cheeseman.

“Kita telah menyaksikan bagaimana pesan digital palsu dimanipulasi agar terdengar seperti Presiden Joe Biden yang memberi tahu masyarakat agar tak repot memilih, padahal itu belum dalam masa kampanye.”

Terdapat juga risiko serious bahwa disinformasi, manipulasi elektoral dan kekerasan politik akan muncul selama pemilu di El Savador, India dan Sri Lanka, tambahnya.

Apa itu kecurangan pemilu?
Itu adalah upaya untuk mengubah hasil pemilu setelah pemungutan suara.

Kecurangan pemilu ini termasuk surat suara yang sudah diisi sebelumnya ke dalam kotak suara, mengubah penghitungan setelah suara diberikan, atau menghancurkan kotak suara untuk membatalkan suara oposisi.

Selama tiga hari pemungutan suara pada pemilu parlemen tahun 2021 di Rusia, terdapat dugaan terjadinya kecurangan pemilu yang meluas, termasuk penjejalan kotak suara dan ancaman terhadap pemantau pemilu.

Video yang beredar secara luas di media sosial menunjukkan sejumlah orang menjejalkan kertas ke kotak suara.

Bagaimanapun, pemerintah Rusia mengatakan bahwa itu tak dikategorikan sebagai “pelanggaran berat”.

“Tetapi jika Anda memiliki kendali penuh atas proses tersebut, Anda bisa saja ‘berbohong’,” kata Dr Cheeseman, yang ikut menulis buku How to Rig an Election.

Lebih jauh dia Cheeseman menerangkan bahwa kecurangan pemilu bisa terjadi di mana saja, termasuk di negara-negara dengan sistem pemilu yang kuat.

Di negara-negara ini, pemantau dalam negeri dan agen partai politik biasanya hadir di banyak TPS, untuk mencatat suara dan menghitung hasil mereka sendiri.

Dr Cheeseman mencontohkan pemilihan presiden di Ghana pada 2016, ketika partai oposisi menggunakan aplikasi telepon seluler untuk membantu mengumpulkan hasil pemilu.

Sementara itu, di Zambia pada tahun 2021, pengamat dalam negeri dan kelompok gereja bekerja sama dengan komunitas internasional dan menyusun daftar tabulasi suara paralel. Hal ini memberi tekanan pada komisi pemilu setempat untuk mengeluarkan hasil serupa.

Akan tetapi, hal ini jadi lebih sulit dalam 10 tahun terakhir lantaran pemerintah otoriter telah mengeluarkan undang-undang yang membatasi aktivitas masyarakat sipil dan LSM selama proses pemilu, menurut Dr Cheeseman.

Sementara itu, kata Chelleri, para pemantau pemilu hanya menyaksikan bagian akhir dari sebuah proses pemilu dan tidak bisa menghentikan kecurangan yang dilakukan pada tahap awal.

Di Indonesia, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyebut potensi kecurangan saat pencoblosan hingga penghitungan surat suara pada Pemilu 2024 jauh lebih besar dari tahun 2019.

Sekjen KIPP, Kaka Suminta, mencatat setidaknya ada tujuh bentuk kecurangan yang bakal terjadi di lapangan.

Mulai dari beli suara, kongkalikong mencoblos surat suara cadangan, hingga mobilisasi pemilih yang mengklaim masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK).

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengatakan peranan sangat krusial dalam mengawasi proses pemungutan dan penghitungan ada pada Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS).

Bisakah partai oposisi melakukan kecurangan pemilu?
Pihak oposisi juga bisa melakukan hal-hal yang “curang” dan bisa lolos begitu saja, kata Dr Cheeseman.

“Seseorang seperti Donald Trump, yang saat ini menjadi oposisi, dapat melontarkan segala macam tuduhan, ada yang benar, ada yang tidak benar, dan menggunakannya sebagai cara untuk melemahkan pemerintah,” katanya.

Apakah demokrasi dalam bahaya?
“Jangan membodohi diri kita sendiri. Kita berada dalam periode demokrasi yang buruk secara global,” kata pejabat Uni Eropa Riccardo Chelleri.

“Saya pikir telah terjadi resesi demokrasi dalam lima tahun terakhir.”

Chellereri mengatakan faktor yang mendorong apa yang disebutnya sebagai “resesi demokrasi” ini antara lain lemahnya perekonomian dan pengaruh negatif media sosial dalam menyebarkan teori konspirasi.

Dr Cheeseman mengatakan masa depan demokrasi bergantung pada hasil pemilu tahun ini.

“Jika masyarakat berada di negara demokrasi yang pemilunya selalu dicurangi, cepat atau lambat mereka akan mulai bertanya-tanya,” ujarnya.

“Apa gunanya memberikan suara atau partisipasi politik jika sistem tidak pernah mengizinkan kita untuk membuat pilihan yang nyata?”

copy dari : bbc.com

 

😀