Apa Perlu GMT ke MMT ?

Artikel lama ini dimasukkan untuk melengkapi arsip kajian perlu tidaknya umat Islam menggunakan Mekkah Mean Time untuk keperluan ibadahnya. Secara singkat tidak perlu. Mekkah Mean Time (MMT) atau Ka’bah Universal Time (KUT) bisa menambah kerumitan baru antara Universal Time yang benar telah diterima universal dengan Ka’bah Universal Time yang hanya bersifat “universal” semu kelompok tertentu.
Berikut copy artikel tersebut :

Waktu Ibadah, perlukah Waktu Mekkah?

Antara Kalender Gregorian, waktu Ibadah, dan Waktu Ka’bah

Dr. T. Djamaluddin

Dr. T. Djamaluddin

Oleh : T. Djamaluddin
Peneliti Utama Astronomi Astrofisika – LAPAN,
Anggota Badan Hisab Rukyat Depag RI

Ada teman yang memforward pertanyaan terkait dengan diskusi waktu ibadah dan usulan untuk menggunakan KUT (Ka’bah Universal Time) atau pada kesempatan lain diusulkan Mekkan Mean Time (MMT) untuk menggantikan GMT (Greenwich Mean Time) atau UT (Universal Time) yang saat ini digunakan. Kalender Gregorian pun dianggap bermasalah dalam kaitan dengan waktu ibadah Jumat. Berikut tanggapan singkat saya.

Pertama, tidak ada masalah dengan kalender Gregorian. Islam menghargai dua sistem kalender, karena baik matahari maupun bulan beredar berdasarkan perhitungan. Baca QS. 10: 5 “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak” dan QS. 55:5 “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”. Hanya saja untuk keperluan ibadah, Allah dan Rasulul-Nya mengajarkan untuk untuk melihat hilal, sebagai cara termudah melihat pergantian tanggal.

Kedua, tidak ada masalah juga pada GMT (Greenwich Mean Time) atau UT (Universal Time) karena itu hanya berdasarkan definisi agar pergantian hari matahari terjadi di wilayah tanpa penduduk di Pasifik. Kalau diganti dengan Ka’bah Universal Time, harus disepakati secara universal, bukan hanya ummat Islam agar sifat universal benar adanya. Tentu saja harus ada alasan logis. Secara astronomis, tidak ada keuntungan mengubah UT menjadi sistem waktu universal lainnya, karena posisi pergantian hari harus diperhitungkan. Selain itu, mengubah sistem dari UT ke KUT hanyalah mengubah konversi waktu saja (plus atau minus sekian jam) yang tidak bermakna hakiki.

Ketiga, harus disadari bersama persoalan waktu ibadah adalah persoalan waktu lokal. Baca QS. 17:78 “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)” dan QS. 62:9-10 “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Waktu shalat ditentukan berdasarkan ketampakan matahari. Shalat Jumat pun di tentukan berdasarkan waktu lokal. Kalau mengikuti waktu shalat Jumat di Mekkah, waktu kerja (mencari karunia Allah) bisa-bisa sudah malam hari saat orang beristirahat.

Ke-empat, masalah hari Jumat. Di manakah pergantian hari yang terbaik? Sistem sekarang dengan pergantian hari di garis tanggal di Pasifik adalah cara yang paling optimal. Pemisahan hari terjadi di wilayah yang terpisah luas oleh lautan. Jadi hari Jumat berawal dari Pasifik Barat, lalu ke Asia Timur & Australia, Asia Tenggara, Asia Tengah, Timur Tengah, Eropa & Afika, berakhir di benua Amerika. Shalat Jumat dilakukan sesudah tengah hari menurut waktu lokal. Soal pergantian hari sejak maghrib, tidak masalah, karena itu hanya mengikuti pada penentuan awal tanggal yang bermula saat rukyatul hilal saat maghrib.

Jadi, kesimpulannya tidak perlu ada KUT. KUT bisa menambah kerumitan baru antara Universal Time yang benar telah diterima universal dengan Ka’bah Universal Time yang hanya bersifat “universal” semu kelompok tertentu.

copy dari : Dokumentasi T.Djamaluddin

5 thoughts on “Apa Perlu GMT ke MMT ?

  1. agus

    Maaf sebelum konvensi 1883 tentang penetapan GMT, umat islam sudah terbiasa menggunakan hari jumat setelah mekkah sholat jumat, tapi skg umat islam harus sholat jumat mendahului mekkah sebagi pusat kiblatnya. dan saya pernah mendengar dari beberapa ulama, bahwa pintu-pintu doa dilangit hanya akan dibuka pada hari-hari dan jam-jam yang sudah dikehendaki oleh Allah, termasuk hari jumat sebagai penghulu hari, nah, kalau kita memulai duluan sebelum mekkah melakukannya berarti kita masih hari kamis, mengapa semua pergerakan di alam semesta ini selalu berlawan dengan jarum jam, atau jarum jam yang berlawanan dengan arah kebenaran????, doa yang paling makbul adalah doa di sekitar kabah, dan tempatnya adalah di multazam, tapi tidak semua orang yang berdoa disitu terkabul doanya, karena hanya diwaktu2 tertentu saja pintu2 langit dibuka oleh Allah SWT…..maaf manusia pertanggungjawabannya kepada Allah dengan menepati janji-janjinya dengan tepat….wallahu a’lam

    Reply
  2. agus

    Dalam kalender Gregorian (Masehi), membagi waktu dunia menjadi dua bagian dengan menetapkan garis tanggal international 0* pada Greenwich dan 180* pada selat Bosporus (antara Rusia Canada). Penggantian Tanggal harian ditetapkan pada jam 00:00 pada Meridian 180*.
    Penetapan garis tanggal International diprakarsai oleh Stanford Fleming (Canada) dan Charles F Down (Amerika) pada tahun 1883 dan disyahkan sebagai sistim tata waktu international dalam suatu konvensi pada tahun 1885. Maka sejak saat itu dunia *terbelah dua* dengan latitude 0* ~ +180* sebagai Bujur Timur dan 0* ~ -180* sebagai Bujur Barat. Maka sejak itu kita mengenal negara-negara Barat dan Negara-negara Timur.

    Dalam proyeksi perjalanan matahari dari Timur ke Barat, maka negara negara yang berada pada merian 0* ~ +180* akan mendahului 1 hari dibandingkan dengan negara-negara Barat yang ada pada meridian 0* ~ -180*. Lalu apa akibatnya ?
    Ka’bah yang terletak pada meridian +40* BT dan Indonesia yang terbentang dari meridian +94* ~ +141* BT (bujur Timur) memiliki selisih waktu 4 ~ 6 Jam (15* meridan per jam). Dimana Indonesia (jakarta) mendahului 4 jam lebih awal dibandingkankan waktu di Ka’bah (Mekkah). Sehingga (misalnya) kita melakukan Shalat Ied pada pagi hari jam 7:00 maka Umat muslim di Mekkah masih melakukan Takbir atau masih ada yang terlelap tidur (jam 3:00 dinihari.) Jika mengacu pada QS Al Imran ayat 96
    “Inna Awwala baitin wudi’a linnasi lallazina bibakkata mubarakhan wahudan lil ‘alamnin”.
    {sesungguhnya rumah mula-mula dibangun untuk (tempat ibadat) manusia, ialah Baitullah yang ada di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua umat manusia).
    Dan bilamana surat diatas kita gandeng dengan Surat Al Hujurat ayat 1 (QS 49:1) “Ya ayyuhal ladzina aamanu tuqqadimu baina yadayillahi wa rasuullihi wattaqullaha innallaha sami’un ‘aliim.
    (Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan mengetahui).
    maka secara jelas bahwa umat muslim yang berada disebelah timur Mekkah (meridian > 40* BT ~ 180* BT) MENDAHULUI melakukan ibadah Maddah dan bertentangan dengan sunnah Rasul.

    Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir , Ibnu Abu Dunya meriwayatkan pada kitab Al Adhahi, dimana Rasullulah membatalkan ibadah penyembelihan hewan Qurban karena mereka melakukan penyembelihan hewan Qurban sebelum Rasulullah melakukanya. Dan memerintahkan mereka mengulangi penyembelihan Hewan Qurban setelah beliau melakukan penyembelihan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Tabhrani dalam kitab Al Ausath.
    Jelasnya kita bisa terkecoh, manakala Kalender Gregorian (Masehi) sebagai petunjuk tanda waku ibadah Maddah karena kita akan selalu mendahului menjalankan shalat sebelum Shalat yang sama dilakukan di Baitullah Mekah pada hari yang sama………dulu kita tidak terbiasa dengan kalender yang seperti skg ini, tapi segala sesuatu ibadah selalu berawal dari mekkah, setelah itu kita (indonesia) akan melakukannya esok hari, selisih 20 jam dari mekkah…..saya yakin kalau umat islam menjadikan mekkah sebagai titik tolak ibadah, maka tentunya tidak akan ada perbedaan idul adha idul fitri dan hari2 ibadah lainnya yang dikehendaki oleh Allah SWT….

    Reply
  3. Soufreinsyah Muhsin

    Masalahnya hanya ketika shalat jum’at, jadinya di hari kamis, bukan hari jum’at.

    Masalah ini bukan berkaitan dengan penetapan tanggal, tapi hari. Kalau tanggal, berdasarkan bulan. Kalau mulainya hari berdasarkan matahari. Terbenam matahari adalah awal hari menurut Allah.

    Soal kerumitan, itu baru dugaan. Terapkan dulu, nanti bila ada masalah, baru dicari solusinya. Penetapan GMT juga berawal dari kerumitan. Karena itu penerimaan GMT tidak serentak. Silahkan simak baik-baik proses penerapan GMT di seluruh dunia.
    GMT belum sampai 2 abad. Sebelum itu bagaimana penetuan mulainya hari? Apa ada masalah sebelum itu? Bagaimana penentuan mulainya hari di jaman kekhalifahan Islam menguasai dua per tiga dunia selama 7 abad?

    Reply
  4. jaisyumuhammad

    Apa jadinya kalau sebagaian umat Islam yang mengaku paling mempunyai ghirah tertinggi membela Islam namun sebenarnya hanyalah cover (kafr) bagi ambisi hawa nafsu pribadinya? Padahal sejatinya ia sangat memahami tapi tidak jujur (atau memang tidak memahami seutuhnya) wacana yang sedang menjadi tema.
    Jawabannya: keterpurukan umat yang tiada akhir…
    Muslim (?) seperti inilah yang sebenarnya harus diposisikan sebagai “Abdullah bin Ubay” bagi umat ini.

    Reply
  5. H.Kur iadi. Samarinda

    BERHARI RAYA DI INDONESIA DAN DI MAKKAH

    Menjelang Idul Adha tahun 2004, saya dikunjungi oleh seorang kawan. Ia memberikan sebuah naskah khotbah id, dengan harapan saya sebagai khotib menyampaikan khotbah dengan naskah itu.

    Pembicaraan berlanjut, hingga sampai menyangkut hari apa hari rayanya karena pada tahun itu terjadi perbedaan di Indonesia juga perbedaan antara Indonesia ( Jum at ) dengan Saudi Arabia ( Kamis ). Tamu saya akan berhari raya pada hari yang sama dengan hari rayanya Saudi atau sehari lebih awal dari yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Dari perbincangan saat itu, saya mendapat penjelasan dan mengetahui jalan pikiran mereka.

    Penjelasan mereka
    Pada zaman Salaf, tidak ada perbedaan hari raya hanya karena batas negara, semua negara berpatokan pada Mekkah. Setelah zaman Salaf baru ada perbedaan karena batas negara, Dan yang terjadi di Indonesia hanayalah karena pemerintah telah terlanjur menetapkan lebih dahulu pada kalender nasional, idul adha tahun ini hari Jumat, dan tidak mau lagi menyesuaikannya dengan kenyataan terakhir dimana pemerintah Saudi belakangan menetapkan satu hari lebih dahulu dari yang telah ditetapkan oleh Indonesia yaitu hari Kamis. Kalau perbedaan waktu antara Indonesia dan Saudi hanya beberapa jam, kenapa harinya harus jadi berbeda. Begitu antara lain penjelasannya. Jelasnya, bagi mereka hari raya ikut hari rayanya akkah, Saudi sebagai titik sentral aktivitas ritual idul adha.

    Kita mengkaji.
    Kita kenal istilah, Sahabat, yaitu orang Islam yang bertemu Nabi Muhammad, berikutnya adalah Tabiin yaitu orang Islam yang bertemu dengan sahabat, Tabiittabiin yaitu orang Islam yang bertemu dengan Tabiin, Salaf yaitu orang Islam yang bertemu dengan Tabiittabiin, baru para Khalaf yaitu generasi dibelakang para salaf.

    Pada zaman Salaf semua persoalan masih dapat diselesaikan dengan berorientasi pada Mekkah, karena segala persoalan yang timbul masih dapat terjawab dengan bertanya pada para Tabiin, atau meneliti perilaku para Tabiin dan sahabat jika tidak menemukan hadis tentang suatu permasalahan yang timbul,
    Kalau ada persoalan umat yang diluar sentral Mekkah misalnya berhari raya pada hari apa di daratan cina? hal itu dapat terjawab dengan hadis yang mengajarakan bahwa “ berbuka dengan melihat hilal syawwal”.Kalau ternyata berbeda dengan hari raya di Makkah, maka perbedaan itupun tidak mereka ketahui secara cepat dan tepat, jadi di Asia hari raya Jumat sementara di Makkah Kamis, tidak jadi persoalan, disamping karena tidak saling tahu dalam waktu yang cepat, juga ada riwayat bahwa
    “Kuraib berkata, aku datang dari Syam, disana aku dapat melihat Hilal Ramadhan dengan mudah, dan saat di Syam aku melihat bulan malam Jum at, Setelah sampai di Madinah di penghujung Ramadhan, aku ditanyai oleh Ibnu abbas, menyangkut bulan, kapan kamu melihat Hilal Ramadhan, kukatakan kami melihatnya malam jum at, orang-orang lalu puasa, juga Mu awiyah. Ibnu Abbas berkata, sedangkan kami melihatnya malam sabtu, lalu kami terus puasa sampai kami melihat hilal Syawwal atau kami genapkan Ramadhon 30 hari. Kuraib bertanya, apa tidak cukup Hilal yang di rukyah di Syam serta berpuasanya Mu awiyah ? Ibnu Abbas menjawab, tidak, karena begitulah ajaran Rasulullah kepada kami”.
    Turmuzi berkomentar tentang riwayat ini…… para ahli ilmu menerapkan hadis ini, bahwa pada setiap negeri, rukyahnya masing-masing. ( FS.I.326 ) Itu terjadi di zaman sahabat bersama Tabiin.

    Di zaman khalaf. karena umat Islam teleh menyebar luas, mulai timbul persoalan baru, misalnya bagaimana puasanya orang di Kutub Utara atau selatan yang waktu siangnya jauh lebih lama dibanding waktu malam atau sebaliknya, para ulama Khalaf telah mendiskusikan dan menyimpulkan hal ini. Dan persoalan semacam itu memang tidak dibahas ulama Salaf karena belum terasakan, demikian pula masalah hari raya yang berbeda antara yang di Asia dengan yang di Saudi Arabia. Diskusi mengenai masalah ini cukup panjang dan luas, melibatkan ilmu falak atau astronomi, penggunaan istilah ‘mathla’ menjadi mutlak diperlukan. Mathla’ ialah posisi hilal saat muncul dilihat di suatu tempat di bumi, mungkin hilal tidak dapat dilihat pada saat matahari terbenam di bumi bagian timur, tapi beberapa waktu kemudian dapat dilihat pada bumi bagian barat, berarti bahwa perbedaan terlihat bulan atau tidak terlihat adalah persoalan perbedaan waktu antara timur dan barat.

    Berkaitan perbedaan waktu antara timur dan barat, ulama khalaf sudah menyelasaikan sejumlah persoalan yang timbul, misalnya, waktu shalat antara orang dibumi bagian timur lebih awal dari yang di bagian barat. Seandainya ada dua orang anak dan bapak, yang anak di timur dan bapaknya di barat, keduanya mati pada saat matahari terbenam, maka bapaknya menjadi waris terhadap anaknya, karena anaknya lebih dahulu mati dari ayahnya, berikutnya saudara si ayah dapat menjadi waris terhadap si ayah itu tadi.

    Zaman salaf, informasi tidak terlalu cepat, hingga orang di asia tidak tahu dengan cepat kapan hari raya di Saudi, hingga kalau terjadi perbedaan tidak menimbulkan masalah, tapi di zaman ini apa yang terjadi di barat dapat diketahui oleh orang di timur dalam waktu hitungan jam bahkan menit, maka tahulah muslim Indonesia mengenai kapan hari raya di Mekkah, bila ternyata berbeda, maka timbul perbedaan sikap.

    Kalau demikian yang terjadi, maka ulama Indonesia umumnya berpegang pada riwayat Kuraib, dengan penerapan bahwa kondisi Syam yang relatif mudah terlihat bulan, berbeda dengan Madinah yang relatif tidak semudah di syam ( Syiria ). Posisi hilal di Indonesia pada saat matahari terbenam belum bisa dilihat, sementara lima jam kemudian di Makkah yang disebelah barat dari Indonesia, posisi hilal lebih tinggi hingga dapat dilihat, maka hasil rukyah di Indonesia berbeda dengan hasil ruk yah di Mekkah, akibat fiqhiyah yang timbul juga berbeda.

    Pada saat matahari terbenam di Indonesia ( hari ahad sore, umpama) hilal belum bisa dilihat maka Senin di Indonesia masih hari terakhir zulqi’dah, saat itu di Makkah masih siang hari Ahad, dan pada saat matahari terbenam Ahad sore di Makkah hilal dapat dilihat ( saat yang sama di Indonesia sudah hampir tengah malam Senin ), berarti Senin di Makkah sudah tanggal 1 zulhijjah.

    Selasa pagi tanggal 9 Zulhijjah di Makah Wukuf, saat itu Selasa siang di Indonesia. Di Makkah Rabu pagi idul adha saat itu di Indonesia hari Rabu sudah siang.

    Rabu pagi di Indonesia, saat yang sama di Makkah masih Rabu dinihari sekitar jam dua pagi.

    Persoalan yang tibul adalah,

    1. Apabila orang di Indonesia ikut Makkah hari raya hari Rabu, lalu shalat ied Rabu pagi di Indonesia( waktu doha ), padahal saat itu masih hari Selasa malam Rabu di Makkah dan belum waktunya shalat ied, atau;

    2. Pada saat masuk waktu shalat iedul adha di Makkah ( waktu doha ) maka saat itu di Indonesia sudah menjelang zohor dan waktu untuk shalat ied di Indonesia sudah habis.

    3. Hari dan waktu sholat id marupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisah, maka jika harinya ikut Makkah, waktu sholat idnya juga ikut waktuMakkah, tidak akan dilakukan sholat id di Indonesia jika belum sampai waktunya di Makkah. Jika di Makkah masih dinihari, lalu pagi di Indonesia sudah sholat id, bukankah itu mendahului Makkah ?,

    Persoalan persoalan semacam itulah yang menjadi masalah bagi mereka yang tidak ikut hari rayanya Makkah, tapi bukan masalah bagi mereka yang ikut Makkah, ditulah diantara sebagaian masalah yang terjadi perbedaannya.

    Wallahu a’lam bisshawab ( Tulisan ini lebih bersifat pertanyaan orang awam yang membutuhkan penjelasan ).Bacaan Fiqhussunnah, Sabilal Muhtadin, Alfiqhu ala mazahibil arba’ah 200105 Kurniadi, ( 08164572605 )

    Reply

Leave a comment