Tag Archives: hukum

Sejak Ratusan Tahun Lalu, Syariah Telah Menjadi Rujukan Hukum Kita

Yusril Ihza Mahendra: Sejak Ratusan Tahun Lalu, Syariah Telah Menjadi Rujukan Hukum Kita

Selasa, 18 Agustus 2015

JAKARTA (voa-islam.com) – Berkaitan dengan hukum Islam, pakar hukum Prof Yusril Ihza Mahendra membuat tweet panjang yang menarik. Ia menjelaskan sejarah hukum Islam di tanah air dan berbagai hal berkenaan dengan hukum Islam. Menurut Yusril, hanya agama Islam, Yahudi dan Hindu yg membentuk sistem hukum.

Diantara ketiganya, hukum Islam yang paling berpengaruh sampai kini. Makanya matakuliah Hukum Islam diajarkan dimana saja di fakultas hukum, termasuk di Eropa, Amerika dan Amerika Latin.

“Sementara agama Kristen, Buddha dan Shinto tidak mengandung norma hukum dan tidak melahirkan sistem hukum selama perkembangan sejarahnya.Sistem Hukum Kristen misalnya memang tidak ada di dunia ini. Jesus sendiri mengacu dan mentaati hukum Taurat seperti disebutkan dalam alKitab. Meskipun agama Kristen tidak membentuk sistem hukum, namun setelah Imperium Romawi memeluk Kristen, doktrin Kristen mempengaruhi Romawi. Doktrin dalam berbagai konsili itu dinamakan Hukum Kanonik Gereja Katolik. Namun seiring dengan renesance pengaruh itu kian berkurang,” jelas Yusril.

Pakar hukum ini melanjutkan, proses sekularisasi Eropa mendorong sekularisasi di bidang hukum, pengaruh gereja dalam pembentukan norma hukum makin memudar. Di fakultas hukum manapun di dunia ini tidak diajarkan hukum Kristen, Hukum Buddha atau Hukum Shinto. Agama-agama tersebut tidak membentuk sistem hukum.

Menurut Guru Besar Hukum UI ini, secara sosiologis dan historis, hukum Islam tetap mempengaruhi para pemeluknya dari dulu sampai sekarang. Hukum Islam adalah the living law. Bagaimanakah hukum Islam di Indonesia? Sejak kedatangan Islam pengaruh hukum Islam itu cukup besar kepada masyarakat suku di Nusantara.

“Ditingkat yang paling awal, pengaruh hukum Islam itu terletak di bidang peribadatan dan hukum kekeluargaan. Ketika terbentuk kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pengaruh hukum Islam makin besar karena dijadikan sebagai rujukan utama pembentukan hukum. Pengaruh itu terasa di bidang hukum tatanegara, hukum pidana, perdata dan publik lainnya. Transformasi syari’ah ke dalam hukum kerajaan-kerajaan Nusantara dilakukan melalui kitab-kitab fiqih yg dijadikan pegangan oleh para ulama. Sebagian lagi ditransformasikan langsung ke dalam hukum positif kerajaan tersebut dalam bentuk Qanun, yang selanjutnya membentuk sistem peradilan,” terang Yusril.

Dalam melakukan transformasi itu, kaidah-kaidah hukum kebiasaan atau hukum adat yang dijadikan sebagai sumber rujukan pembentukan norma hukum. Raja Melaka yang memeluk Islam, Parameswara, membentuk hukum laut yang sangat menarik.

Namanya Qanun Laut Kesultanan Melaka. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu sangat menarik, mengingat posisi Melaka sebagai negara yang bertanggungjawab atas keamanan Selat Melaka.

“Qanun yang diciptakan oleh kerajaan-kerajaan Islam Nusantara itu sangat banyak, belum terhimpun dengan baik, walau sudah ada beberapa riset tentang hal itu,” tulisnya.

Kesultanan Cirebon misalnya mempunyai Pepakem yang berisi hukum positif kesultanan itu.

Hukum tatanegara pasti berlaku di kesultanan-kesultanan itu, mulai dari Kesultanan Ternate dan Tidore, Buton, Goa Tallo dan Makassar. Penelitian tentang ketatanegaraan Demak, Pajang dan Mataram Islam juga belum banyak dilakukan. Namun pasti norma-norma hukum Islam dibidang perkawinan berlaku di Mataram Islam, juga hukum jual beli.

“Ketika VOC mulai menguasai tanah Jawa, mereka meminta Prof De Friejer untuk menghimpun hukum yg berlaku di tanah Jawa. Prof Priejer menerbitkan kompilasinya tahun 1660 yang ternyata kompediumnya itu berisi hukum Islam yg disana sini mengadopsi hukum adat Jawa. Dari berbagai ilustrasi tadi saya ingin menunjukkan bahwa sejak ratusan tahun yang lalu, syari’ah itu telah menjadi sumber hukum dan rujukan dalam pembentukan hukum dalam sejarah hukum di tanah air kita. Pertanyaannya kini adalah setelah kita merdeka dan membentuk sebuah republik yg demokratis, dimanakah posisi syari’ah itu?” tanya Yusril.

Kemudian Yusril menjawabnya, ”Kemerdekaan kita sebagai sebuah bangsa belum banyak mengubah wajah hukum kita. Dari sudut pandang hukum, negara RI adalah penerus Hindia Belanda. Semua peraturan kolonial, kita nyatakan masih berlaku sebelum diadakan aturan yang baru menurut UUD45. Itu diatur dalam pasal peralihan UUD45. Meski demikian, Hindia Belanda dahulu mengakui keberlakuan hukum Islam walau terbatas pada hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Sementara hukum Islam di bidang peribadatan tidak dicampuri pemerintah kolonial. Bidang ini mereka anggap sensitif kalau diintervensi. Sementara untuk bidang hukum publik, pemerintah kolonial merumuskan norma hukum berdasarkan konstitusi Belanda.”

Lebih lanjut ia menjelaskan, di bidang hukum privat pemerintah kolonial membagi penduduk Hindia Belanda dalam 3 golongan. Golongan Eropa tunduk pada BW dan aturan-aturan lainnya. Golongan Timur Asing tunduk pada hukum adat mereka, kecuali mereka sukarela menundukkan diri pada hukum golongan Eropa.

Ketiga, Golongan Inlander atau bumiputra mereka tunduk pada hukum adat mereka masing-masing. Pemerintah Hindia Belanda katakan gol Inlander tunduk pada hukum adatnya, bukan tunduk pada hukum Islam, meskipun mereka taat kepada agama Islam.

“Kebijakan Belanda tersebut terkait erat dengan politik devide et impera untuk memecah belah kaum bumiputra. Belanda tidak akui hukum Islam berlaku karena jika hukum Islam berlaku akan menyatukan semua suku bangsa yg beragama Islam. Dengan mendukung hukum adat, maka Belanda mudah memecah belah mereka. Sejak awal abad 20, Pemerintah Hindia Belanda mengikuti teori-teori van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa yang berlaku di kalangan Inlander bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Hukum Islam baru berlaku apabila telah diterima atau “direcipier” oleh hukum adat. Pendapat-pendapat seperti itu di alam kemerdekaan dibantah oleh para ahli hukum adat sendiri seperti Prof Hazairin. Beliau mengatakan sebaliknya. Hukum Adat baru berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal itu disadari oleh orang Islam. Secara faktual hukum Islam adalah hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat Indonesia. Sebagai the living law, hukum Islam itu menjadi bagian dari kesadaran hukum rakyat yang tidak bisa diabaikan,” terangnya.

Yusril melanjutkan, sebagai kesadaran hukum, maka negara demokratis manapun di dunia ini tidak dapat mengabaikan kesadaran hukum itu. Karena itu, Republik Philipina yang konstitusinya menyatakan dirinya sebagai negara sekular, belum lama ini mencabut UU Kontrasepsi.

Sebab apa? Sebab mayorotas penduduk yang beragama Katolik menentang kontrasepsi sesuai doktrin gereja yg diyakini mayoritas rakyat. Tugas negara dalam merumuskan kaidah hukum adalah mengangkat kesadaran hukum yang hidup dikalangan rakyatnya sendiri menjadi hukum positif.

Dengan demikian, negara tidak melawan kesadaran hukum rakyatnya sendiri, apalagi negara itu menganut kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam konteks seperti itu jugalah hendaknya negara RI. Negara adalah satu-satunya institusi yang diberi wewenang untuk memformulasikan norma hukum.

“Karena itu, alm. Ismail Saleh mengatakan sumber hukum dalam pembentukan hukum nasional kita adalah hukum Islam (syari’ah), hukum adat, hukum eks kolonial Hindia Belanda yg telah diterima oleh masyarakat Indonesia, serta konvensi-konvensi internasional yang sudah sudah kita ratifikasi. Kebijakan pembangunan norma hukum di negara kita ini haruslah mempertimbangkan kemajemukan bangsa kita. Karena itu di bidang hukum privat, khususnya hukum kekeluargaan, kita harus memberlakukan berbagai jenis hukum sesuai kemajemukan tersebut. Hukum Perkawinan dan Kewarisan misalnya mustahil untuk dapat disatukan dan diberlakukan kepada semua orang. Maka biarlah ada kemajemukan. Bagi orang Islam, negara memberlakukan hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang harus dituangkan dalam bentuk undang-undang. Begitu juga negara dapat mengangkat hukum kewarisan adat bagi komunitas adat tertentu, sesuai kesadaran hukum mereka. Sejalan dengan konsep negara kesatuan, di bidang hukum publik, sejauh mungkin negara merumuskan satu jenis hukum yg belaku buat semua orang,” jelas Yusril.

Dosen Hukum Tatanegara UI ini melanjutkan, Hukum Lalu Lintas misalnya tidak mungkin ada beberapa jenis hukum yg diberlakukan secara bersamaan. Begitu pula di bidang hukum pidana dan hukum administrasi negara harus ada satu jenis hukum yg berlaku bagi semua orang. Dengan demikian, di bidang hukum publik kita memberlakukan unifikasi hukum. Sedang di bidang hukum privat kita hormati kemajemukan.

Dalam konteks merumuskan norma hukum publik yang betsifat unifikasi itu, kita merujuk kepada sumber-sumber hukum, yakni syari’ah, hukum adat, hukum eks kolonial yang sudah diterima dan konvensi-konvensi internasional yg sudah kita ratifikasi. Ketika sudah disahkan menjadi undang-undang, maka yang berlaku itu tidak lagi disebut syari’ah, hukum adat atau hukum eks kolonial, tetapi UU RI. Undang-undang Republik Indonesia itulah hukum positif yang berlaku di negara ini yang asalnya digali dari sumber-sumber hukum dengan mengingat kebutuhan hukum.

“Apakah dengan berlakunya hukum Islam di bidang privat dan transformasi asas-asas syari’ah ke dalam hukum publik, Indonesia kemudian menjadi sebuah “negara Islam”? Bagi saya tidak. Negara ini tetaplah Negara RI dengan landasan falsafah bernegara Pancasila. Sama halnya dengan dijadikannya hukum adat di bidang privat dan ditransformasikannya hukum adat ke dalam hukum publik, tidaklah menjadikan Negara RI ini berubah menjadi Negara Adat. Negara ini tetaplah Negara RI dengan Pancasila sebagai landasan falsafah bernegaranya. Selama ini kita gunakan KUHP yang asalnya adalah Code Penal Napoleon yang diadopsi oleh Belanda dan diberlakukan di sini. Tokh negara kita tidak pernah berubah menjadi Negara Napoleon. Tetap saja negara kita Negara RI,” jelas cendekiawan Islam ini. [nh/sharia/voa-islam.com]

copy dari : MKRI dari VOA-Islam

lihat : Latar Belakang Istilah “Orang Indonesia Asli” atau Pribumi

Kenali Gejala Pecahnya Negara

Berita Duka dari MK – Uji UU KPK 2019

berita duka dari MK

Terdaftar Prolegnas, Uji Formil UU KPK Ditolak

Selasa, 04 Mei 2021

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) untuk Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019 pada Selasa (4/5/2021).

“Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan provisi Pemohon. Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan.

Dalam permohonannya, Agus Rahardjo dan Laode Muhamad Syarif sebagai Pemohon menilai pembentuk UU KPK tidak menunjukkan itikad baik dalam proses pembentukan Perubahan Kedua UU KPK. Sehingga terdapat potensi kerugian konstitusional yang dapat merugikan warga negara. Menurut para Pemohon, proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK berlangsung kilat dan terkesan terburu-buru untuk disetujui. Oleh karena itu, para Pemohon menilai proses pembahasan dalam jangka waktu yang singkat ini menjadi faktor banyaknya cacat formil dan ketidakjelasan yang terdapat dalam batang tubuh UU KPK tersebut. Padahal, secara yuridis, Pasal 50 ayat (3) UU No. 12/2011 menjelaskan DPR mulai membahas RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pertimbangan hukum menyebut berdasarkan UU P3, tahapan pembentukan perundang-undangan merupakan rangkaian tahapan yang terdiri atas tahapan pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, dan tahap pengundangan. Mahkamah berpendapat Rancangan Undang-Undang (RUU) No.19/2019, antara lain telah terdaftar dalam Prolegnas Daftar RUU Prolegnas Tahun 2015-2019, RUU Perubahan atas UU No. 30/2002 tentang KPK yang terdaftar pada urutan ke-63. Selain itu, RUU a quo juga tercantum dalam Keputusan DPR tentang Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2016. Selain itu dalam Raker Badan Legislasi pada 16 September 2019 maupun Rapat Paripurna DPR pada 17 September 2019.

“Berdasarkan fakta di atas, Mahkamah berpendapat bahwa ternyata RUU KPK telah terdaftar Prolegnas dan berulang kali terdaftar dalam Prolegnas Prioritas. Terkait lama atau tidaknya waktu yang diperlukan dalam pembentukan undang-undang, hal itu sangat berkaitan erat dengan substansi dari RUU tersebut. Berdasarkan seluruh uraian di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon yang menyatakan RUU KPK tidak melalui Prolegnas dan disinyalir terjadi penyelundupan hukum adalah tidak beralasan menurut hukum,” urai Arief.

Harus Pengujian Materiil

Sementara terkait dalil mengenai adanya pelanggaran asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam penyusunan UU KPK serta tidak adanya partisipasi dari masyarakat dan lembaga terkait, Mahkamah menyebut seharusnya Pemohon menempuh jalur pengujian materiil. Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut berkenaan dengan asas kejelasan tujuan, maka hal tersebut terlihat dari Penjelasan Umum yang trerlah menguraikan latar belakang, maksud dan tujuan penyusunan undang-undang yang tujuannya bukan untuk memperlemah kewenangan KPK.

“Adapun norma yang berkenaan dengan pembentukan Dewan Pengawas, pemberia kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan, dan perubahan status kepegawaian KPK dipredikasi para Pemohon akan memperlemah kewenangan KPK dan mengganggu independensi KPK, penilaian terhadap substansi norma bukan merupakan ranah pengujian formil. Oleh karena itu, menurut, Mahkamah, hal tersebut haruslah dilihat secara keseluruhan norma undang-undang yang apabila dianggap dapat merugikan hak konstitusonal atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya udang-undang, maka dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma yang dimaksud ke Mahkamah Konstitusi,” terang Saldi yang juga membacakan pendapat Mahkamah.

Selanjutnya, Mahkamah menjelaskan soal anggapan KPK yang tidak dilibatkan saat pembentukan RUU KPK. “Secara faktual, KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi UU KPK,” ujar Saldi.

Pendapat Berbeda

Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan pendapat berbeda bahwa seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon. Wahiduddin menjelaskan ada beberapa opsi yang dapat ditempuh oleh hakim konstitusi. Pertama, dengan mempertahankan UU KPK dengan menyatakan menolak seluruh permohonan para Pemohon. Kedua, Mahkamah memperbaiki beberapa (bahkan banyak) materi yang terdapat dalam UU KPK dengan mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon (khususnya para Pemohon uji materiil) agar UU KPK menjadi terjamin konstitusionalitasnya. Ketiga, opsi dengan kembali kepada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum perubahan dan dengan menyatakan UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945.

“Berdasarkan 3 (tiga) opsi koridor untuk memutus perkara pengujian di atas, saya berijtihad untuk menempuh menempuh koridor ‘jalan tengah terbaik’ yang saya yakini, yaitu menyatakan bahwa pembentukan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945, sehingga UU a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ijtihad ini saya lakukan berdasarkan argumentasi agar pembentuk undang-undang dapat mengulang proses pembentukan undang-undang mengenai KPK dengan cara yang lebih baik, dalam suasana yang lebih tenang, serta dalam jangka waktu yang lebih rasional dan proporsional,” tandas Wahiduddin.(*)

copy dari : MKRI

Mahfud Mengenang Wafatnya Mantan Hakim Agung Artijo

semoga cita-cita mulia mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar diteruskan oleh hakim-hakim Indonesia

Mahfud, Artidjo, dan Harapan Besar untuk MA

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Rizkyan Adiyudha, Antara

Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA), Artidjo Alkostar, telah berpulang ke Rahmatullah. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, memiliki berjuta kenangan dengan sosok yang dikenal tak neko-neko dengan para narapidana korupsi itu.

Kepada Republika Mahfud menceritakan hal yang pernah ia lalui bersama dengan Artidjo. Salah satunya terjadi pada November 1990, saat Mahfud berangkat ke Amerika Serikat (AS) sebagai peneliti akademik di Colombia University, New York. Kesempatan ia dapatkan setelah menerima beasiswa Sandwich Program ke AS.

“Urusan-urusan saya di Amerika relatif lancar dan mudah karena di sana sudah ada Mas Artidjo Alkostar yang menjemput dan mengatur tempat tinggal dan urusan administrasi saya,” kata Mahfud lewat pesan singkat, Senin (1/3).

Artidjo kala itu memang memang sudah lebih dahulu berangkat dan bekerja sebagai sukarelawan di Asia Watch yang dipimpin oleh Sydney Jones di New York. Selama delapan bulan di New York, Mahfud mengaku mempunyai acara rutin dengan pria yang sama-sama berasal dari Madura itu.

“Kalau hari Jumat kami janjian ketemu di masjid untuk sholat Jumat di Islamic Center. Kalau Sabtu kami makan siang di restoran Asia, termasuk restoran India. Jika ke restoran India, Mas Artidjo suka memesan nasi briyani,” ungkap dia.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu melihat sosok Artidjo sebagai inspirator bagi penegakan hukum dan demokrasi. Ingatan Mahfud kembali berputar jauh ke belakang, yakni kejadian pada tahun 1978. Saat di mana dia baru mulai kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, dan Artidjo sudah menjadi dosen muda.

“Mas Artidjo sudah menjadi dosen muda sehingga ikut mengajar saya. Dosen muda yang lain, antaranya, adalah Dahlan Thaib. Kedua dosen muda tersebut menginspirasi saya untuk menjadi dosen,” terang Mahfud.

Dahlan Thaib dia sebut memiliki retorika yang sangat bagus, selalu tampil rapi, dan tampan sebagai dosen. Sementara Artidjo merupakan sosok dosen muda yang ketika mengajar selalu membawa banyak buku yang tebal.

Menurut Mahfud, Artidjo selalu membedah kasus-kasus konkret yang pelik ke dalam buku-buku tebal itu. Hal itulah yang ia kagumi dari sosok Artidjo. Dari sanalah Mahfud terinspirasi ingin menjadi dosen dan pejuang seperti Artidjo.

“Begitu lulus dari Fakultas Hukum UII saya langsung mendaftar sebagai dosen, saya tidak pergi ke Jakarta untuk mencoba mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomis. Saya mantap ikut jejak Mas Artidjo,” kisahnya.

Mahfud juga mengingat ketika Artidjo masih menjadi hakim agung. Saat itu, Mahfud pernah menyampaikan protes teman-teman Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Protes itu terkait seorang tokoh papol yang alumni HMI yang hukumannya dinaikkan hampir dua kali lipat dari hukuman di tingkat PN oleh Artidjo.

“Sebagai Ketua Umum Presidium KAHMI saya sampaikan kritik teman-teman kepada Mas Artidjo karena dianggap menghukum terlalu berat,” jelas dia.

Sebagai orang hukum, Mahfud sejak mula sudah tahu hal itu tidak akan ada gunanya jika disampaikan kepada Artidjo. Namun, akhirnya dia tetap menyampaikannya sembari tertawa-tawa kepada Artidjo. Mahfud juga menyampaikan soal pandangan rekannya di KAHMI terhadap Artidjo saat itu.

“Menurut teman-teman ada kesan umum Artidjo tak pernah menghukum tidak berat orang yang diadilinya, tak pernah mau mengampuni,” kata Mahfud. “Saya juga alumni HMI, tapi saya tetap harus menegakkan hukum dan menghukum koruptor dengan berat meski dia anggota KAHMI,” balas Artdijo kepada Mahfud saat itu.

Soal kesan tidak pernah tidak menghukum orang juga Artidjo bantah saat itu. Artidjo menunjukkan kepada Mahfud beberapa vonis yang membebaskan orang yang dijatuhi hukuman korupsi di Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) tetapi ternyata tidak bersalah.

“Dia hanya dikorupsikan sehingga dibebaskan oleh Mas Artidjo pada kasasi di tingkat MA,” kata Mahfud.

Tanggal 18 Agustus 2020 merupakan terakhir kali Mahfud bertemu langsung dengan Artidjo. Sehari sebelumnya, Mahfud mendapat kabar dari murid setianya, Ari Yusuf Amir dan Sugito, soal sakit dan diagnosis adanya masalah dengan jantung dan paru-paru di tubuh Artidjo.

“Tapi Mas Artidjo tak mau dirawat di rumah sakit meski dokter sangat merekomendasikan. Oleh sebab itu saya meminta tolong kepada Menteri Kesehatan (Menkes), Dokter Terawan, untuk bisa dirawat di apartemennya,” terang Mahfud.

Mahfud menerangkan, saat itu Menkes mengirim dokter dan perawat ke apatemen Artidjo pada tanggal 18 Agustus 2020. Pada saat itulah Mahfud ikut menemui Artidjo di apartemennya. Selain Menkes, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, kemudian juga mengirim adiknya yang dokter ahli jantung untuk merawat kesehatan Artidjo.

“Hari Minggu, 28 Februari 2021, ternyata Mas Artidjo pergi untuk selamanya. Dia menghadap Allah dengan damai,” jelas Mahfud.

Di tahun 2018, Republika pernah mewawancarai Artidjo saat dia pensiun sebagai hakim agung. Dia mengungkapkan kala itu, tak ada yang berani dengan dia karena sikap tegasnya. Ia juga sudah berkata kepada keluarganya, yang menjadi famili atau saudara adalah Artidjo Alkostar, bukan hakim agung.

“Kalau hakim agungnya itu bukan (keluarga atau famili). Jangan coba-coba untuk memengaruhi hakim agung,” kata Artidjo di Media Center Mahkamah Agung, Jumat (25/5).

Pria berusia 70 tahun yang berencana mengangon kambing di kampungnya pascapurnatugas itu menuturkan, saat menjadi hakim agung, dia siap untuk tak berkawan. Beda dengan dulu ketika masih menjadi advokat, setelah menjadi hakim, ia siap untuk tidak memiliki kawan, siapa pun itu.

“Orang terdekat pun tak saya temui. Saya jarang bergaul dengan orang yang berpotensi untuk berperkara. termasuk ya para pengacara, dibatasi meski habitat saya pengacara,” tambah dia.

Artidjo memasuki masa pensiun setelah bertugas selama 18 tahun. Selama bertugas, ia telah menangani tak kurang dari 19.708 berkas perkara. Ia pun berharap agar MA dapat menjadi lebih baik lagi ke depannya, dan ia percaya kala itu harapan tersebut akan tercapai.

“Saya percaya pengganti saya nanti lebih baik dari saya. Dengan demikian, MA ini berhak untuk menatap masa depan yang lebih baik, dengan indikator-indikator perbaikan yang selama ini sudah dilakukan dibandung tahun 2000 dulu,” katanya.

Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengungkapkan jenazah Artidjo Alkostar akan dimakamkan di Yogyakarta. Anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK itu meninggal akibat sakit jantung dan paru-paru.

“Tempat pemakaman di Komplek Pemakaman UII, Kampus Terpadu UII, Jalan Kaliurang Km. 14,5 Sleman Yogyakarta,” kata Ali Fikri di Jakarta, Senin (1/3).

Dia mengatakan jenazah Artidjo diberangkatkan dari RS Polri Kramat Jati pada sekitar pukul 20.00 WIB Ahad malam. Ali mengatakan, jenazah disemayamkan di Auditorium Prof. Abdul Kahar Muzakkir Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII).

“Pimpinan KPK, Ketua dan anggota Dewas KPK serta beberapa pejabat struktural KPK lainnya diagendakan hadir dalam prosesi pemakaman tersebut,” katanya.

Presiden Joko Widodo bertakziah dan datang melayat Artidjo. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Kemarin hari Minggu telah berpulang ke rahmatullah Bapak Artidjo Alkostar. Kita telah kehilangan putra terbaik bangsa,” ujar Presiden di lokasi.

Kepala Negara yang tampak didampingi Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, turut melakukan sholat jenazah setibanya di masjid Ulil Albab UII sekira pukul 08.00 WIB.

Presiden memiliki kenangan tersendiri terhadap Artidjo Alkostar semasa hidupnya. Kepribadian dan integritasnya tak perlu diragukan lagi dan menjadi teladan bagi para penegak hukum dan peradilan.

“Beliau adalah penegak hukum, hakim agung, dan Dewan Pengawas KPK yang sangat rajin, jujur, memiliki integritas yang tinggi,” tuturnya. Usai menyampaikan belasungkawa, Presiden Joko Widodo berdoa untuk almarhum agar diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.

Artidjo Alkostar tutup usia di umur 72 tahun. Selama ini ia dikenal sebagai salah seorang ahli hukum di Indonesia. Artidjo merupakan mantan hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung.

Artidjo Alkostar pernah menjadi direktur LBH Yogyakarta, dosen Fakultas Hukum UII, dan hakim agung sejak 2000 hingga 2018 dan sudah menangani 19.483 perkara. Artidjo Alkostar menyelesaikan pendidikan SMA di Asem Bagus, Situbondo, Jawa Timur.

Selanjutnya, ia melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta dan melanjutkan Master of Laws di Nort Western University, Chicago, serta melanjutkan S3 di Universitas Diponegoro di Semarang dan mendapatkan gelar doktor ilmu hukum pada 2007.

Artidjo merupakan salah satu anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK, sebelumnya pernah menjabat sebagai ketua Kamar Pidana MA. Selama aktif menjadi hakim agung di MA, Artidjo dikenal sangat galak kepada koruptor. Dia kerap menjatuhkan vonis lebih berat kepada para terpidana kasus korupsi.

Di antaranya, vonis empat tahun penjara menjadi 12 tahun kepada politikus Angelina Sondakh dan menggandakan hukuman bekas ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dari vonis tujuh tahun di Pengadilan Tinggi DKI menjadi 14 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsidair 1 tahun 4 bulan penjara.

Selain itu, eks Sekda Kabupaten Nabire, Papua, Ayub Kayame dari vonis bersalah satu tahun menjadi 10 tahun atas kasus korupsi genset sebesar Rp 21 miliar, kasus eks Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan masih banyak kasus lain yang ditangani Artidjo yang memperberat vonis koruptor di tingkat sebelumnya.

copy dari republika

Ketahanan Nasional Bidang Gaya Hidup

INTISARI LOGIKA HUKUM PEJUANG PENOLAKAN LGBT DI INDONESIA

Diresensikan dan dinarasikan ulang dengan beberapa tambahan oleh Dr. Wido Supraha (Yayasan Adab Insan Mulia) dari buku LGBT dalam Perspektif Keindonesiaan, untuk menjadi intisari bahan perjuangan seluruh generasi beradab di Indonesia, terkait akan segera disahkannya RUU KUHP dengan rapat Panja terakhir tanggal 13-16 September 2019, sementara kandungan pasalnya masih banyak memiliki persoalan.

  • Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai groundnorm, sehingga setiap Undang-undang yang disusun di Indonesia harus sesuai dengan living ideology and law masyarakat, tidak boleh netral agama sebagaimana negara sekuler, dan tidak ada doktrin pemisahan antara agama dan negara, dengan demikian LGBT adalah ujian besar bagi eksistensi Pancasila
  • Hak berkeyakinan tidak boleh dibatasi sebagaimana pasal 18 ayat 1 dan 3 dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dengan demikian keyakinan umat beragama untuk menolak LGBT tidak boleh dibatasi karena ia bagian dari Hak Asasi Manusia yang Berketuhanan Yang Maha Esa
  • PBB harus berhenti mempromosikan dan memaksakan penerimaan LGBT di seluruh dunia karena LGBT tidak diakui secara universal di banyak negara, khususnya negara-negara yang memegang nilai moral agama, sebagai bentuk margin of appreciation kepada negara yang menolak, sehingga pendapat partikular tidak boleh memaksa pendapat universal
  • Agama adalah faktor utama yang dibutuhkan para pengidap penyakit kejiwaan LGBT untuk dapat bertransformasi menuju kembalinya fitrah yang sehat, karenanya MUI Pusat telah mengeluarkan Fatwa Nomor 57 tahun 2014 yang menegaskan larangan perbuatan LGBT
  • Al-Qur’an membahas Nabi Luth a.s. dan kaumnya dalam 15 surat dan 89 ayat dengan 3 surat yang khusus membahas penyimpangan LGBT: Al-A’raf [7] ayat 80, Asy-Syu’ara [26] ayat 165 dan An-Naml [27] ayat 54-55
  • LGBT tidak hanya dilarang dalam Islam, tapi juga dilarang di dalam Injil sebagai ibadah kafir “pelacuran kudus”, dilarang dalam sastra Hindu, dan juga dalam pemahaman Buddha.
  • LGBT adalah penyakit kejiwaan terkait penyimpangan seksualitas yang harus disembuhkan, dan masyarakat harus melindungi para dokter, akademisi, media dan pejabat publik dari somasi para pegiat LSM yang pro-LGBT, dan teguran dari lembaga seperti American Psychiatric Association (APA) dan The British Psychological Society.
  • Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran (PP PDSKJI) telah menyatakan sikapnya di tahun 2016 bahwa homoseksual dan biseksual masuk dalam kategori orang dengan masalah kejiwaan (ODMK), sebagaimana pendapat senada ditegaskan oleh Pengurus Pusat Ikatan Psikologi Klinis-Himpunan Psikologi Indonesia (IPK-Himpsi) dan Ikatan Perawat Jiwa Indonesia
  • Pelaku LGBT sangat berpotensi mengalami gangguan jiwa dan fisik, beresiko tinggi mengalami depresi, kecemasan, penyalahgunaan zat dan percobaan bunuh diri.
  • Fakta adanya sinyalemen perilaku LGBT di tengah masyarakat Indonesia di masa kuna, seperti Serat ChentiniCebolang, dan Calabai tidak lantas menjadi dalil bahwa Indonesia wajib menerimanya, apalagi jika sinyalemen tersebut berasal dari kisah fiktif, fakta minoritas bentukan penjajah, atau bermuatan keuntungan ekonomi pribadi, dan bukankah memaksa menerima satu perilaku sosial berkonsekuensi memaksa penerimaan pada sekian banyak perilaku sosial lain yang bertentangan dengan kebudayaan bangsa Indonesia
  • Penyimpangan orientasi seksual bukanlah hak asasi, karena hak asasi di Indonesia harus berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
  • Pengidap jiwa LGBT juga pada faktanya tidak memiliki kromosom khusus selain XY untuk laki-laki dan XX untuk perempuan, dan para peneliti di Barat telah menelitinya dan mengeluarkan keputusan “No One was Born as Gay!”
  • Organisasi pendukung LGBT tertua dan terbesar di Asia saat ini ternyata ada di Indonesia, bernama Gaya Nusantara. Melalui proses yang panjang dan sistematis, diawali dengan menerima eksistensi waria (1970), dilanjutkan berdirinya organisasi LGBT dan penerbitan majalah khusus LGBT (1980), mengadakan kongres hingga pesta homoseksual dan berlindung dibalik program penanggulangan HIV dan AIDS, bersinergi dengan gerakan feminis Indonesia (1990-an), hingga sekarang menerima dukungan dari Internasional dan berhasil menjadi mitra Komisi AIDS Nasional.
  • Perlahan tapi pasti, para penolak LGBT dicitrakan sebagai kaum yang intoleran, homophobia dan senang melakukan persekusi
  • Laporan Kementerian Kesehatan RI yang dikutip dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, telah terdapat jutaan pelaku homoseksual (LSL) di tahun 2012, dan bahkan menurut UNAIDS Special Analysis 2018, Indonesia menjadi negara penyumbang penyebaran infeksi baru HIV AIDS terbesar ke-3 di Asia Pasifik
  • Penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat 8 pengidap HIV dari 200 waria dan gay, dengan rentang usia terbanyak antara 20 sampai 49 tahun, usia laki-laki produktif, dengan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan negara hingga Rp 1,000,000,- per bulan.
  • LGBT menyebabkan hilangnya usia produktif warga negara, habisnya anggaran negara untuk pengobatan bulanan para pengidap penyakit bawaannya, dan tentunya hilangnya moralitas bangsa yang berdampak pada rusaknya tatanan berbangsa dan bernegara di Indonesia
  • Penanggulangan LGBT bukanlah dengan kondom atau alat kontrasepsi sehat bagi para pelaku seks bebas, melainkan langsung ke akar masalahnya dengan mencegah tumbuh suburnya perilaku penyimpangan tersebut, di antaranya melalui aturan hukum yang tegas bagi pelakunya
  • Jika Malaysia menghukum pelaku LGBT dengan cambuk dan penjara hingga 20 tahun, Brunai dengan cambuk dan penjara hingga 10 tahun, Uzbekistan dengan penjara 3 tahun, Turkmenistan dengan penjara 2 tahun, Sudah dan sebagian Nigeria dengan hukuman mati, begitupun di Singapura bahkan di Rusia dengan lahirnya UU berjudul “For the Purpose of Protecting Children from Information Advocating for a Denial of Traditional Family Values”, dan banyak negara lainnya, seperti Chad, Tanzania, Afghanista, Turkmenistan, Uzbekistan, Eritrea, Aljazair, Tunisia, begitupun negara Eropa Timur seperti Lithuania, Moldova, Armenia, Ukraina, Kroasia, Hungaria, Slovakia, Polandia, dan Macedonia, bagaimana dengan hukum pidana di Indonesia?
  • Di Amerika Serikat sendiri hanya 19 dari 50 negara yang memberikan proteksi terhadap diskriminasi LGBT dalam layangan publik. Jika Bill Clinton di tahun 1993 membatasi ruang gerak LGBT di Militer, dan kemudian dibuka bebas oleh Barrack Obama, kini Donald Trump kembali membatasi ruang gerak LGBT. Hal ini menunjukkan bahwa di negara maju seperti Amerika Serikat sendiri, LGBT tidak mendapatkan tempat yang sangat bebas. Bagaimana dengan Indonesia?
  • Pidana pada perilaku LGBT dengan bentuk penjara, rehabilitas dan kerja sosial, justru akan menghindarkan pelakunya dari persekusi dan intimidasi masyarakat, dengan demikian jika persoalan LGBT tidak diatur di Indonesia akan berpotensi persekusi
  • Lex ut sic regula actuum moralium obligans, ad id quote rectum est (pedoman hukum atau kaidah hukum, legal norms, dan ukuran baik-buruk atau benar-salah menurut masyarakat (social norms atau moral norms) tidak selalu harus dibedakan, karenanya dosa (sin) dalam sudut pandang agama tidak perlu dipisahkan dari kejahatan (crime) dalam sudut pandang hukum positif (Syamsuddin Arif), padahal jika dosa tidak bisa menjadi dasar perbuatan kriminal, dan jika semua urusan dosa adalah urusan dengan Tuhan, maka tidak akan ada lagi tindak pidana yang terjadi di atas muka bumi (Chairul Huda).
  • Di dalam KUHP yang berlaku, LGBT hanya digolongkan kejahatan jika dilakukan kepada anak di bawah umur atau belum dewasa (Pasal 292 KUHP), sementara jika dilakukan sesama orang dewasa tidak secara tegas melarang atau membolehkannya
  • Pengajuan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 284, 285 dan 292 KUHP untuk menguatkan pidana pada pelaku zina dan LGBT di tahun 2016 oleh para pejuang moralitas di Indonesia seperti Prof. Dadang Hawari, Prof. Musni Umar, Prof. Mudzakkir, Dr. Adian Husaini, Dr. Dewi Inong Iriana, Prof. Neng Djubaedah, Dr. Asrorun Ni’am, Prof. Atip Latipulhayat, dan Prof. Hamid Chalid didukung MUI Pusat, Yayasan Peduli Sahabat, dan Persistri, ternyata mendapatkan perlawanan keras dari Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sehingga melahirkan keputusan akhir MK dengan 4 (hakim) mendukung pemohon dan 5 (lima) hakim menolak pemohon dan meminta agar pengubahan KUHP dilakukan di DPR-RI, Komisi III
  • Keputusan MK yang anomali dan banci setelah proses perjuangan pemohon JR selama 2 (dua) tahun tersebut telah mengikat kaki dan tangannya sendiri dengan alasan tidak boleh memasuki ranah legislatif sehingga tidak memberikan penafsiran hukumnya (Hamdan Zoelva), padahal domain MK untuk meluruskan dan mengembalikan makna terhadap usulan perluasan definisi zina menurut perasaan hukum masyarat dengan hukum, dan padahal untuk putusan lain, MK telah begitu progresif menjadi positive legislator, tidak sekedar negative legislator (Chairul Huda).
  • Pendapat bahwa negara tidak boleh intervensi perilaku LGBT sebagai hak kebebasan pribadi adalah pendapat kuna berbasis filosofi utilitarian yang dipelopori Jeremy Bentham yang berkeyakinan jika ingin membuat tindak pidana maka carilah perbuatan-perbuatan yang melanggar hak orang lain. Jika persoalan LGBT adalah persoalan pribadi mengapa ada delik victim less crime, bahwa kejahatan yang tidak ada korban kemudian tetap dapat dikriminalisasi
  • Filosofi hukum modern adalah bahwa seseorang harus dilindungi bukan hanya dari serangan melanggar hukum yang dilakukan orang lain, melainkan seseorang itu juga harus dilindungi dari perbuatan yang merusak dirinya. Perzinaan adalah contoh perbuatan yang merusak anak yang lahir terkait ketidakjelasan hak-haknya.
  • Hukum pidana adalah sarana social defence dalam melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat (Naskah Akademis KUHP BPHN 2009)
  • Melindungi kelompok minoritas LGBT bukan dengan memberikan hak khusus atau privilege tertentu sehingga melahirkan kebebasan bagi mereka, namun perlindungan yang dihadirkan oleh negara dengan penuh kasih sayang dalam bentuk penyadaran dan bersifat rehabilitatif. Hal ini bertujuan agar mereka bertransformasi kepada fitrahnya, yang disebut Jenkins dan Azimullah, sebagai a natural disposition towards goodness.
  • Konsep pengobatan LGBT seperti BPSS (Biologi, Psikologi, Sosial dan Spiritual) yang dikembangkan Prof. Dr. Dadang Hawari, atau Living Ideas yang digunakan Carl Gustaf Jung,  atau Aqidah Therapy yang digunakan oleh banyak Doktor Psikolog di Indonesia adalah di antara fakta empirik bahwa pengidap penyakit LGBT bisa sembuh dengan memperkenalkan pola kehidupan normal, memberikan solusi pada psikologinya, menjauhkan dari lingkungan sosial buruknya, dan memperkenalkanya pada tujuan hidupnya untuk akhiratnya.
  • Mengapa banyak manusia yang mau diintimidasi pemikirannya dengan pemaksaan keyakinan bahwa konsep Hak Asasi dari Barat harus selalu diyakini universal, sementara konsep hak asasi dari selain Barat pasti bersifat parsial?
  • Pernikahan sejenis belum diizinkan di Indonesia sebagaimana Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku saat ini, Pasal 1 angka 3 dan 4 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 1 angka 6 UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, maka bangsa Indonesia wajib menjaga hukum positif yang telah sejalan dengan nilai agama, dan mewaspadai langkah-langkah berikutnya dari pendukung LGBT untuk mengubah pasal-pasal di atas dengan perspektif Barat bahwa perkawinan hanya kontraktual belaka antara manusia, bukan ikatan lahir batin antara perempuan dan laki-laki untuk membentuk keluarga sebagaimana di Indonesia
  • Kini, dalam Rancangan UU KUHP baru yang sedang dibahas Komisi III DPR RI ternyata kalimat ‘pencabulan sesama jenis’ dihilangkan, sehingga perilaku LGBT semakin hilang kejelasan hukumnya, dan perjuangan anak bangsa yang menemui jalan buntu di MK kembali berpotensi menemui kebuntuan di Komisi III DPR RI
  • RUU KUHP ini membutuhkan tingkat partisipasi publik yang sangat tinggi, karena ini akan menjadi produk sejarah setelah 56 tahun Indonesia belum pernah memiliki KUHP produk sendiri. Untuk itu bangsa harus menolak pengesahan RUU KUHP yang terkesan terburu-buru di 26 September 2019. DPR dan Pemerintah harus lebih banyak menerima masukan dari masyarakat.

copy dari : Wido Supraha