Mengejar Ketinggalan Ekonomi Indonesia

Di tengah krisis perekonomian dunia, Indonesia berhasil mempertahankan perekonomiannya sehingga krisis ekonomi dunia seakan tak terasa dampaknya. Ekspor Indonesia memang mengalami kontraksi 19,1 persen pada kuartal pertama 2009, namun ekonomi tetap tumbuh 4,4 persen dan ancaman PHK massal tidak terjadi.
Malaysia, Singapura, dan Thailand yang sedang sibuk berjuang memperkuat laju pertumbuhan ekonomi yang sudah minus pada kuartal pertama 2009. Padahal, Indonesia juga masih menghadapi sejumlah tantangan besar di bidang ekonomi. Lantas pelajaran apa yang bisa dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk membangun keunggulannya ? Ikuti artikle berikut …

Konsentrasi ke Ekonomi

Di Asia, hanya tiga negara yang masih mencatat pertumbuhan ekonomi positif, yaitu Cina, India, dan Indonesia. Ketiganya mempunyai kesamaan jumlah penduduk yang besar sehingga kegiatan ekonomi domestik yang sangat dominan masih bisa menahan turunnya nilai ekspor. Di Indonesia, krisis ekonomi dunia seakan tak terasa dampaknya. Ekspor Indonesia memang mengalami kontraksi 19,1 persen pada kuartal pertama 2009, namun ekonomi tetap tumbuh 4,4 persen dan ancaman PHK massal tidak terjadi.

Nuansa krisis ekonomi dunia juga seakan terlupakan karena tahun 2009 ini seluruh rakyat sibuk dengan pesta demokrasi. Apalagi, pemilihan presiden diikuti dua calon incumbent : presiden dan wakil presiden yang masih menjabat. Di kabinet, menteri keuangan masih merangkap jabatan dengan menteri koordinator perekonomian. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan juga 11 menteri lain dari partai politik sibuk dengan kampanye pemilihan presiden.

Posisi gubernur Bank Indonesia sebagai pengawas kestabilan moneter juga masih kosong karena gubernur sebelumnya ikut maju menjadi calon wakil presiden. Siapa saja para calon penggantinya pun belum ditunjuk. Sementara itu, di pasar modal juga sedang terjadi suksesi kepemimpinan di Bursa Efek Indonesia.

Sedikit banyak semua ini akan memengaruhi konsentrasi pemerintah di bidang pembangunan ekonomi. Sementara itu, rakyat juga larut euforia pesta demokrasi yang sangat mahal ini sehingga bangsa ini menjadi kurang responsif atas krisis ekonomi yang sedang terjadi dan kurang memiliki sikap sense of crisis .

Kondisi ini sangat kontras dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, yang sedang sibuk berjuang memperkuat laju pertumbuhan ekonomi yang sudah minus pada kuartal pertama 2009. Padahal, Indonesia juga masih menghadapi sejumlah tantangan besar di bidang ekonomi. Indonesia pernah mengalami pahitnya krisis 1998 dengan keluarnya investasi asing. Krisis ekonomi 1998 semestinya menjadi pelajaran yang berharga karena Indonesia menempati rekor negara terakhir keluar dari krisis yang dampaknya masih terasa sampai saat ini.

Pembelajaran ( learning organization ) atas situasi yang telah menimpa organisasi sering kali tidak berjalan dengan baik sehingga pengalaman pahit masa lalu pada akhirnya berjalan begitu saja dan tidak memberi makna dan perbaikan pada organisasi. Atau, itu memang mental model bangsa Indonesia yang mudah melupakan sesuatu?

Krisis global saat ini memiliki dampak pada melemahnya investasi hampir pada semua negara. Negara yang memiliki sensitivitas tinggi atas perkembangan lingkungan strategis akan mengambil langkah dan memanfaatkan situasi ini untuk berbenah diri lebih dari yang lain agar pada saatnya, apabila dunia telah pulih dari krisis, negaranya menjadi pilihan utama bagi investor. Semestinya, masyarakat Indonesia sudah saatnya berpikir rasional, tidak terperangkap, dan terhipnotis pada suasana pesta demokrasi.

Ketika Indonesia masih mempunyai keunggulan ekonomi dan negara-negara lain sedang mengalami kesulitan, inilah saatnya Indonesia bisa dengan cepat mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi. Konsentrasi utama semestinya lebih kita arahkan kepada bagaimana menghadapi tantangan perokonomian. Sehingga, saat perekonomian dunia mulai stabil, Indonesia akan menjadi pilihan utama bagi investor karena konsolidasi telah dilaksanakan dengan baik dan berbagai perubahan serta perbaikan telah dilakukan, baik pada aspek kebijakan, hukum, maupun infrastruktur.

Di saat krisis ini, pemerintah harus bertindak cepat karena masih banyak pekerjaan rumah menumpuk. Meningkatkan investasi adalah salah satu unsur yang harus dipenuhi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Krisis yang telah menimpa perbankan dunia telah membuat aliran kredit menjadi lesu sehingga modal dan investasi asing saat ini menjadi rebutan banyak negara untuk pembangunan ekonomi mereka masing-masing.

Ketika pasar modal dunia sedang lesu, saham menjadi instrumen investasi yang tidak menarik, justru saatnya menarik investasi asing secara langsung ( foreign direct investment /FDI) untuk membangun sentra industri baru yang dapat menyerap tenaga kerja. Masih banyak dana menumpuk, terutama dari Timur Tengah yang menahan diri berinvestasi di Amerika dan Eropa yang kondisinya makin memburuk.

Maka, investasi di negara dengan pasar yang besar dan juga tersedia sumber daya alam, seperti Indonesia, adalah yang terbaik. Sayangnya, Indonesia belum menjadi tempat favorit investasi. Survei Doing Business 2009 yang dilakukan International Finance Corporation (IFC) selama periode Juni 2007-Juni 2008 menempatkan Indonesia pada peringkat 129 dari 181 negara dalam hal kemudahan berbisnis. Posisi ini bahkan melorot dua kali dari survei tahun sebelumnya.

Dalam survei Doing Businees 2008 oleh IFC tahun 2007 lalu, Indonesia masih menempati posisi 123 dari 178 negara. Kemudian, masuk tiga negara baru, yaitu Bahrain, Qatar, dan Bahama, yang membuat posisi Indonesia melorot lagi ke posisi 127. IFC menyatakan, tidak ada banyak perbaikan yang dilakukan Indonesia untuk memperbaiki iklim usaha, sementara negara lain banyak melakukan terobosan.

Kemudahan berbisnis IFC diukur dengan 10 parameter terkait peraturan investasi. Antara lain, izin mendirikan usaha, izin mendirikan bangunan, aturan tenaga kerja, prosedur pembelian properti, kemudahan kredit, perlindungan investor, pajak, prosedur ekspor impor, penyelesaian perselisihan bisnis, dan aturan kepailitan.

Untuk memulai usaha di Indonesia, investor harus menempuh 11 prosedur yang memakan waktu 76 hari kerja. Bandingkan dengan negara lain. Di Thailand, untuk proses yang sama, hanya perlu delapan prosedur dengan waktu pengurusan 33 hari kerja. Malaysia memang butuh sembilan prosedur, namun rampung dalam 13 hari. Bahkan, di Mongolia hanya butuh tujuh prosedur dalam 13 hari kerja.

Dengan kemudahan ini, tak heran banyak investor asing memindahkan pabrik mereka dari Indonesia ke Malaysia walau tetap menggunakan tenaga kerja Indonesia. Bahkan, ada warga negara Indonesia yang tinggal di perbatasan Kalimantan Barat setiap hari pergi bekerja di pabrik Malaysia di Sabah. Di masa krisis ini, Malaysia mengeluarkan paket stimulus yang meringankan pajak dan pungutan untuk para pebisnis dan pemilik pabrik industri tekstil, elektronik, dan otomotif.

Masih belum mudahnya berbisnis di Indonesia terlihat dari tidak maksimalnya implementasi dua kali Infrastructure Summit yang diadakan Pemerintah Indonesia pada 2005 dan 2006. Kita masih ingat Emaar Properties LLC dari Dubai pada Maret 2009 lalu sempat mengancam akan membatalkan proyek resor wisata di Lombok senilai Rp 6 triliun jika masalah status lahan tidak juga rampung. Pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan terobosan untuk memangkas semua hambatan investasi. Proses izin usaha minimal harus sama dengan negara tetangga seperti Thailand.

Menerima investasi asing berarti harus menyiapkan infrastruktur. Sayangnya, lagi-lagi kondisi infrastruktur Indonesia hanya menempati peringkat ke-86 dari 143 negara dalam laporan Global Competitiveness Report 2008-2009 di World Economic Forum (WEF), Swiss, Oktober 2008 lalu. Kondisi infrastruktur Malaysia sendiri menempati urutan 23, sementara Thailand di posisi 29. Selain infrastuktur, dalam laporan WEF, Indonesia juga dinilai paling bermasalah dalam ketidakefisienan birokrasi dan korupsi.

Investasi infrastruktur menjadi pilihan utama bagi negara-negara yang terkena krisis. Selain menyerap banyak tenaga kerja, infrastruktur yang dibangun diharapkan bisa berguna bila ekonomi sudah pulih. Jepang yang ekonominya stagnan selama belasan tahun ini bahkan banyak membangun jalan dan jembatan di tempat-tempat terpencil yang terkadang mubazir. Namun, masih banyak wilayah Indonesia yang sangat memerlukan pembangunan infrastruktur baru.
(-)

Penulis : Brigjen Moeldoko (Kepala Staf Kodam Jaya)
Sumber : Republika Online 8 Juni 2009

Leave a comment